KARAWANG-.YAYASAN PELITA KARAWANG-.Sore itu, seperti biasa seorang wanita tua memberi makan ternaknya. Tak banyak, hanya dua ekor sapi. Satu ekor induk dan yang satunya lagi anak.
Tak ada angin tak ada hujan. Tak ada tanda-tanda sakit pada ternak itu. Anak sapi yang baru lahir dua minggu lalu baru bisa berjalan lambat. Tak seperti induknya yang lincah. Anak sapi itu masih menyusu pada induknya. Masih suka menunggangi induknya. Ibarat manusia ia adalah balita yang baru beranjak dan masih bergantung pada ibunya. Bermain bermanja-manjaan.
Namun, siapa sangka jika sore itu adalah akhir kebersamaan anak sapi dengan induknya. Induknya mati tanpa ada tanda-tanda keracunan atau pun sakit. Induk sapi tergeletak di kandang. Anak sapi merengkek-rengkek mencari susunya yang tertutup badan induknya sebagaimana bayi yang mencari tetek ibunya. Ia tak mengerti bahwa induknya tak bernyawa. Ia hanya mau susu tapi induknya diam saja tak bergerak.
Ketika prosesi pengangkatan induknya hendak dipendam, ia membuntuti di belakang tubuh induknya sambil melenguh keras. Usai pemendaman ia mengerang-erang pada majikannya, sikap protes akan pemendaman induknya.
Setelah induk sapi di kubur, anak sapi hanya sendiri di kandang. Diberi makan ia tak mau. Hanya gembar-gembor. Berjalan kesana kemari. Duduk, berdiri. Begitulah, ia merasa kesepian. Majikannya mencoba menenangkannya dengan berbagai cara. Memberinya minum dengan campuran bekatul. Tapi ia tetap saja tak bisa diam. Dan yang lebih mengharukan lagi, majikannya mendapati anak sapinya bercucuran air mata hingga bulu di bawah matanya nyaris basah semua. Andai ia bisa bicara mungkin ia akan berkata “di mana ibuku? Aku haus.”
Majikannya mengelusnya, mencoba memahami apa yang ia minta. Dan ia tetap saja gembar-gembor. Majikannya kemudian mengambil dot dan mengisinya dengan susu kaleng. Didekatkannya dot itu pada mulut anak sapi. Anak sapi membungkam mulutnya erat-erat. Lagi-lagi air matanya membasahi bulunya. Lalu majikannya mengikutkannya pada sapi yang lain. Ia mendekat, lalu pergi. Bukan itu induknya. Majikannya menangis hingga terisak-isak terharu akan keadaan anak sapinya.
Apa yang bisa anda petik dari kisah di atas? Ya, binatang saja mempunyai rasa kasih sayang. Merasa kesepian saat sendirian, sedih kala ditinggal induknya. Apa lagi kita adalah manusia yang diberi kelebihan akal, tentunya lebih peka terhadap rasa.
Saya menangis ketika melihat kejadian itu. Saat membuat tulisan ini juga. Mengingat begitu ada yang tega membuang anaknya sendiri. Membunuhnya, menjualnya, bahkan menggugurkan kandungannya. Sangat tidak berperikemanusiaan. Ia pantas menyandang gelar “bal hum adol minal an’am” ia lebih hina dari binatang.
Bayangkanlah! Bagaimana andai anak sapi itu adalah kita? Kita lebih beruntung jika masih ada ayah, kakek, nenek, paman, atau bibi. Tapi anak sapi itu? Siapa bapaknya? Suntikan jawabnya.
Hidup dalam keluarga yang utuh, ada ibu, bapak, kakak, adik, kakek, nenek mungkin adalah hal yang biasa. Gak ada yang spesial. Sampai-sampai terkadang kita bertengkar dengan salah satu di antara mereka. Tetapi, apakah kita pernah berpikir jika suatu saat nanti kita akan meninggalkan mereka atau mereka yang akan meninggalkan kita? Di situlah nantinya kita akan merasakan sakitnya kehilangan. Betapa sering kita mengabaikan kehadiran sosok yang kita anggap biasa. Namun, saat ia pergi kita baru merasakan betapa berarti ia buat kita.
Manusia dengan segala aktivitasnya terkadang lupa bahwa betapa berharganya memiliki keluarga yang utuh. Betapa malangnya manusia yang tidak bisa menghargai anugerah terindah dari tuhan tersebut. Dengan ketiadaan salah satu anggota keluarga manusia ibarat burung yang cacat. Entah patah sayapnya, atau hanya bermata sebelah, atau lain sebagainya.
Maka dari itu hargailah orang-orang di antara kita. Terlebih adalah bapak dan ibu kita yang membesarkan kita dengan segala susah payahnya. Lebih utama lagi adalah ibu yang mengandung kita selama sembilan bulan sepuluh hari. Sakit dan letih tak di hiraukannya demi anak tercinta. Bertetes-tetes darah dan nyawa ia pertaruhkan untuk berjuang melahirkan kita ke dunia. Tiap malam rela berjaga menunggui anaknya dari basah ompol, dari sengatan nyamuk, dari gangguan lainnya yang membuat anak tak nyaman.
Syukurilah walau terkadang ibu kita sering marah pada kita, itu adalah wujud kasih sayangnya terhadap kita. Mungkin karena kita yang salah. Bukan rasa benci yang akan memisahkan nantinya.
Wahai kawan! Tengoklah apakah ibumu masih berjelaga? Masih mampu melihat gemerlapnya dunia? Mampu merasakan pahit, asin, manis? Mampukah ia tertawa dan menangis? Saat inilah waktu yang tepat.
Bergegaslah sebelum terlambat. Sebelum beras menjadi lumat. Ayo! Tunggu apa lagi? Dekaplah ia, cium ia, minta maaflah jika selama ini kau banyak melakukan salah padanya. Jangan tunggu hingga ajal menjemputnya. Kemudian sesal membayangimu selamanya. Ia tak butuh harta, ia tak butuh emas permata, tak juga rumah semegah istana. Ia hanya butuh balas budi kita.
Bagaimana kita membahagiakannya? Cukup berbuat baik padanya. Bertutur lembut padanya, tidak bersikap kasar padanya. Katakanlah bahwa kau menyayanginya. Selamat hari Ibu Sedunia...
Ninuk Well