Sisi depan Masjid Agung Karawang, menghadap ke alun alun |
Menara Masjid Agung Karawang, diresmikan tahun 2006 lalu |
KARAWANG-PELITAKARAWANG.COM-.Berdiri megah di kawasan alun alun kota Karawang, masjid Agung Karawang menyimpan sebuah sejarah panjang penyebaran Islam di wilayah propinsi Jawa Barat. Sejarah masjid agung ini tidak dapat dilepaskan dari peran Sheikh Quro, yang bernama asli Sheikh Hasanuddin, seorang ulama besar yang begitu berjasa bagi masuk dan berkembangnya syiar Islam di wilayahKarawang khususnya dan propinsi Jawa Barat umumnya. Bangunan masjid yang kini berdiri megah itu memang bukan lagi bangunan asli yang dulu pertama kali dibangun oleh Sheikh Quro. Renovasi, perbaikan hingga pembangunan kembali oleh para Bupati Karawang tempo dulu hingga para bupati di era Kemerdekaan turut andil dalam mempermegah dan memperindah masjid bersejarah ini.
Karawang, Tarumanagara, Padjajaran dan Sheikh Quro
Nama Karawang berasal dari Bahasa Sunda Karawa-an, adalah Nama suatu kesatuan wilayah dan juga nama salah satu pelabuhan yang terletak ditepi kali Citarum pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Sebagai suatu Wilayah, Karawang sudah memegang peranan penting pada masa Pemerintahan kerajaan Tarumanegara yang berkuasa pada abad IV - VI M. Tim Arkelogi Nasional yang melakukan penelitian sejak tahun 1952 sampai sekarang, banyak menemukan peninggalan kerajaanTarumanegara seperti bekas bangunan candi dan lain-lainnya di sekitar Desa Seragan, Batu Jaya dan Desa Cibuaya. Demikian juga adanya nama Pataruman sebuah kampung di dekat Rengasdengklok, diduga bakas salah satu pelabuhan Tarumanegara.
Kala itu pelabuhan Karawang menjadi pelabuhan penting di kerajaanTarumanegara hingga era kerajaan Padjajaran. Posisi Karawang yang berada di sepanjang kali Citarum yang merupakan jalur utama perdagangan di kawasan tersebut menjadikan nya teramat penting pada era Padjajaran sama pentingnya dengan pelabuhan Banten, Bekasi, dan Sunda Kelapa. Pentingnya peranan pelabuhan Karawang, bukan saja pada masa pemerintahan Pajajaran dari abad VIII sampai abad XVI M, yakni hampir 800 tahun, akan tetapi sampai juga masa pemerintahan Sultan Agung Mataram yang telah mengangkat Bupati Karawang pertama Adipati Singaperbangsa dan Aria Wirasaba. Bahkan sampai berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.
Pelabuhan Karawang dengan kesibukan seperti dijelaskan itulah, rombongan Syeh Quro dengan 2 perahunya singgah kesana. Syekh Quro atau yang bernama asli Syekh Hasanudin yang datang dari Champa (Kamboja) dan mendirikan pesantren pada tahun 1418 M pada saat kunjungan yang ke dua di pulau Jawa dan memulai menyebarkan Islam di kawasan tersebut Mushola yang dibangun oleh Syekh Quro inilah yang kini kita kenal sebagai masjid Agung Karawang.
Sheikh Quro, Masjid Agung Karawang dan Keruntuhan Padjajaran
Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syeh Quro menyampaikan Da'wahnya di Musholla yang dibangunnya penuh keramahan. Uraiannya tentang Agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, Karena Ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al Qur'an memberikan daya tarik tersendiri, karena Ulama Besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatkan masuk Islam.
Dakwah Syeikh Quro di Karawang ini terdengar Prabu Angga Larang yang pernah melarang Syeikh Quro melakukan kegiatan yang sama ta'kala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon, ia mengirim utusan yang dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup PesantrenSyeh Quro. Namun ta'kala Raden Pamanah Rasa ini tiba di tempat tujuan, hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Karancang.
Raden Pamanah Rasamengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Karancang. Lamaran tersebut diterima dengan syarat mas kawinnya harus "Bintang Saketi" yaitu simbol dari "tasbeh" yang berada di Negeri Mekah. (Sumber lain menyatakan bahwa, hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu harus masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam). Selain itu, Nyi santri juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan-nya kelak harus ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, dan beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, di mushola Pesantren Syeikh Quro dan Syeh Quro sendiri yang bertindak sebagai penghulunya. Raden Pamanah Rasa setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran kemudian bergelar Prabu Siliwangi.
Perkawinan di musholla yang senantiasa mengagungkan asma Allah SWT itu memang telah membawa hikmah yang besar. Dari pernikahan tersebut lahirlah putera bernama Raden Walangsungsang, lalu seorang puteri bernamaRaden Nyi Rara Santang dan putra bungsu bernama Raden Kian Santang.
Setelah melewati usia remaja, bersama adiknya Raden Nyi Rara Santang, meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran untuk mendapat bimbingan dari Ulama Besar yang bernama Syeh Dzatul Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Sedangkan Raden Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi Mubaligh dan menyebarkan Agama Islam di daerah Garut.
Setelah kakak beradik Raden Walangsungsang dan Nyi Rara Santang menunaikan ibadah Haji,Raden Walangsungsang memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang (Cirebon) bergelar Pangeran Cakrabuana . Sedangkan Raden Nyi Mas Rara Santang waktu di Mekah diperistri oleh Sultan Mesir, Syarif Abdillah. Raden Nyi Rara Santang kemudian diganti namanya menjadi Syarifah Muda’im.
Dari pernikahan Raden Nyi Mas Rara Santang dengan Syarif Abdillah, mereka dikaruniai dua orang putera masing-masing bernama Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Setelah ayahnya meninggal dunia jabatan sultan diserahkan kepada Syarif Nurullah, sebab Syarif Hidayatullah setelah menimba ilmu Agama yang luas dari para Ulama Mekah dan Bagdad, ia bertekad untuk menjadi Mubaligh di Cirebon.
Tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibundanya berlayar ke Cirebon, setibanya disana disambut dengan suka cita oleh Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat atau pangeran Walangsungsang yang tak lain adalah kakak tertua dari ibundanya. Syarif Hidayatullah kemudian dipercaya untuk menggantikan Pangeran Cakraningrat untuk memimpin negeri Caruban, dengan gelar Susuhunan atau Sunan. Syarif Hidayatullah ini yang kemudian kita kenal sebagai Sunan Gunung Jati.
reka gambar Sunan Gunung Jati |
Pengangkatan Syarif Hidayatullah tersebut mendapat dukungan terutama dari Raden Fatah, Pemimpin Pesantren dan Sunan Bintoro, putera Raja Majapahit Brawijaya V, yang diangkat menjadi Sultan Kerajaan Islam Demak I. Dalam rangka pembangunan Mesjid Agung Demak, Sunan Cirebon diundang untuk menetapkan kebijaksanaan tentang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Sidang para Sunan yang dikenal Wali Songo itu juga menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah diangkat menjadi ketua atau pimpinan dari Wali Songo, dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Sejarah Nasional kita mencatat bahawa pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Fatahillah berhasil mematahkan kekuasaan Portugis di Sunda Kelapa, kemudian berubah nama menjadi Jayakarta, Batavia dan kemudian menjadi Jakarta yang kini kita kenal. Keturunan Sunan Gunung Jati juga yang kemudian mendirikan kesultanan Banten dan secara tuntas menghapus sisa sisa kekuasaan Pajajaran, ketika tahun 1579 Syeh Yusuf, Putera Sultan Hasanuddin atau cucu Sunan Gunung Jati melumpuhkan secara total sisa sisa kekuatan Pajajaran. Peristiwa heroik penaklukan Sunda Kelapa oleh gabungan pasukan Demak dan Cirebon terhadap pasukan Portugis itu kini setiap tahun diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta.
Sejarah besar itu bermula dari mushola kecil sheikh Quro yang kini menjadi Masjid Agung Karawang. Apa yang dikatakan Sheikh Quro bahwa keturunan pajajaran kelak akan ada yang menjadi Waliullah dan permohonan Nyi Subang Karancang (Subang Larang) agar keturunannya dari perkawinan dengan Prabu Siliwangi ada yang menjadi raja, pun ahirnya terwujud.
Renovasi, Perbaikan dan pembanguan Masjid Agung Karawang
Adipati Singaperbangsa Bupati Karawang (memerintah 1633-1677M), semula berkantor di daerah Udug-udug. Kemudian karena berbagai pertimbangan, ia memindahkannya ke pelabuhan Karawang. Di tempat ini telah ada pasar, masjid Agung, dan sarana penunjang lain, termasuk pelabuhan itu sendiri yang memperlancar kegiatan lalu lintas perdagangan, pemerintah, dan sebagainya. di dekat masjid Agung dibangun alun-alun yang ditanami 2 pohon beringin di bagian kanan kirinya, kantor dan pendopo kebupaten, kantor keamanan dan tempat tahanan. Adipati Singaperbangsa memperindah bangunan masjid dan direnovasi diselaraskan dengan kantor kabupaten yang baru dibangun.
dari balik terali pagar alun alun |
Bupati Karawang pada waktu itu merupakan bawahan dari Sultan Agung yang bertekad untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dan sekitarnya dan Karawang dipersiapkan menjadi pusat penyerangan tentara Mataram terhadap kedudukan tentara VOC /Kompeni di Batavia, dan Karawang juga menjadi lumbung padi sebagai pusat logistik dari peperangan tersebut. Hampir selama 44 tahun Adipati Singaperbangsa melaksanakan tugas pemerintahannya dengan memfungsikan masjid Agung Agung Karawang sebagai tempat ibadah dan memotivasi masyarakat agar berperan serta dalam menunaikan tugas-tugas kenegaraannya.
Adipati Singaperbangsa wafat pada tahun 1677 M dan dimakamkan di Manggung Ciparage , tiga Bupati penerusnya masing masing Panatayuda I,II dan III tidak berkantor di Babakan Kartayasa, dan tidak melanjutkan perbaikan terhadap Masjid Agung Karawang. Raden Anom Wirasuta atau Panatayuda I (menjabat 1677 - 1721 M) berkantor di Waru dekat Loji, Pangkalan. Raden Martanegara atau Panatayuda III (menjabat 1732 - 1752 M) juga berkantor di Waru Pangkalan
Pada masa Bupati Karawang V yaitu Raden Muhamad Soleh atau Panatayuda IV (memerintah 1752 - 1786M), Kantor bupati dipindahkan kembali ke Babakan Kertayasa. Bupati V ini, dikenal sebagai dalem nalon. Bupati ini mendapat kehormatan "naik nalon". Dari pemerintahan Kolonial Belanda, dan pada waktu itu hal tersebut jarang terjadi. Ia termasuk pembina Masjid Agung, dan waktu meninggal Dunia ia dimakam kan dekat Masjid ini, tahun 1993 atas persetujuan para sesepuh, kerangka jenazahnya dipindahkan dan dimakamkan kembali di komplek makam Bupati Karawang di Desa Manggung Jaya Cilamaya.
Puncak atap limas Masjid agung Karawang |
Masa Penjajahan Kolonial Belanda
Sejak masa Bupati Karawang VI sampai Bupati Karawang IX yakni antara tahun 1786 - 1827, tidak ada petunjuk dilakukannya perbaikan yang berarti apalagi perluasan bangunan dan sebagainya. Sebab sejak tahun 1827 para Bupati Karawang IX sampai bupati XXI atas kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda tidak lagi berkantor di kota Karawang melainkan ke Wanayasa dan Purwakarta, Sehingga dapat dipahami apabila para Bupati yang berkedudukan di Wanayasa dan Purwakarta perhatiannya kurang terhadap pembinaan Masjid Agung secara langsung, kemunginan dipercayakan kepada wedana atau camat yang bertugas di kota Karawang
.
Masa kemerdekaan
Setelah berlakunya Undang Undang no 14 tahun 1950 tentang pembentukan daerah daerah Kabupaten di lingkungan Propinsi Jawa Barat maka kabupaten Karawang terpisah dari kabupaten Purwakarta dan Ibukotanya kembali di Karawang. Sedangkan Bupati Karawang masa itu dijabat oleh Raden Tohir Mangkudijoyo yang memerintah tahun 1950 - 1959, pada tahun 1950 atas persetujuan para Ulama dan Umat Islam, Mesjid Agung diperluas pada arah bagian depan dengan bangunan permanen ukuran 13 x 20 m ditambah menara ukuran kecil dan satu Kubah ukuran 3 x 3 m dengan tinggi 12 m, atap dari seng adapun luas tanah mesjd termasuk makam adalah 2.230 m.
Bangunan Masjid agung karawang yang kini kita lihat berdiri megah di pusat kota Karawang adalah bangunan hasil pembangunan yang diresmikan pada tanggal 28 Januari 1994 oleh Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana. Tercatat dalam prasasti pembangunan ucapan terima kasih kepada 4 perusahaan yang berkonribusi pada pembangunan masjid ini masing masing (1) PT. Bintang Puspita Dwi Karya, (2) PT. Argo Pantes, (3) PT. Astakona Megahtama dan (4) PT. Bestland Pertiwi. Prasasti tersebut ditandatangani oleh Bupati Karawang H. Sumarno Suradi dan Ketua DPRD Kabupaten Karawang H. Jamil Sfiuddin. Sedangkan bangunan menara yang menjulang tinggi di depan masjid diresmikan oleh Bupati Karawang H. Dadang S Muchtara pada tanggal 11 Agusutus 2006.
Arsitektur Masjid Agung Karawang
kaligrafi besar di atas mihrab masjid Agung Masjid Karawang |
Sejatinya masjid Agung Karawang dibangun dalam arsitektur khas Indonesia dalam skala yang lebih besar, dengan atap limas bersusun tiga dengan empat sokoguru utama menopang atap masjid. Plafon masjid dibiarkan terbuka untuk member ruang bagi masuk nya cahaya matahari ke dalam ruang masjid dan bagi kepentingan sirkulasi udara. Bagian dalam masjid dibangun dua lantai berbentuk mezanin member ruang terbuka cukup luas dibagian depan masjid bagi jemaah di lantai dua untuk dapat melihat ke lantai utama masjid.
Di tiga masjid berdiri kokoh masing masing 6 pilar bundar cerminan enam rukun Islam. Dan ketiga sisi masjid agung ini dibangun dengan dinding berkerawang / berongga memungkinkan sirkulasi udara secara alami dan keindahan tersendiri bagi bangunan masjid ini. di sisi selatan masjid berdiri gedung remaja masjid dan tempat bersuci. Sedangkan disisi mihrab lantai dua juga difungsikan sebagai kantor pengelola masjid.
Sisi mihrab Masjid Agung Karawang |
Pada sisi mihrab dibagian kiri dan kanannya terikir indah kaligrafi Allah dan Muhammad dalam ukuran besar. Kaligrafi Al-qur’an juga terlukis indah di sisi kiri dan kanan dinding masjid bagian dalam. Kaligrafi dan lukisan geometris turut memperindah sisi migrab masjid ini.
Layaknya masjid khas Indonesia. Disisi selatan masjid ini juga berdiri bangunan kecil terpisah dari masjid sebuah bangunan tempat menyimpan dua buah beduk dalam ukuran besar lengkap dengan kentongan yang juga dalam ukuran besar. Masjid agung yang begitu megah dan besar ditambah dengan pelataran depan yang sudah dilapis dengan keramik ini begitu meriah selama bulan Ramadhan. Terutama di dua hari raya Islam, jemaah masjid ini membludak hingga ke alun alun dan jalan raya disekitar nya. Subhallah sebuah pemandangan yang begitu indah.
Jemaah Idul Fitri Masjid Agung Karawang |
Masjid Agung Karawang |
Mihrab dan Mimbar Masjid Agung Karawang |
Interior Masjid Agung Karawang |
Suasana lantai dua masjid Agung Karawang |
Jendela dan Dinding sisi selatan di lantai II menghadap ke alun alun |
Referensi
buanatirta.blogspot.com - sejarah masjid agung karawang, bagian 2 danbagian 3
kompasiana.com – misteri masjid agung karawang
pelitakarawang.com – sejarah masjid agung karawang
poskota.co.id – pengungsi nginap di masjid agung karawang
Oleh:Bujang Lanang Cikarang-Bekasi, Jawa Barat, Indonesia |